Rabu, 02 Agustus 2017

# Fitrah based education # Kurikulum Belajar

My FBE Journey Harry Santosa

My FBE Journey, July 2017
Oleh Ust Harry Santoso

Setelah seharian workshop FBE (Fitrah based Education) di kota Malang, keesokan harinya saya breakfast meeting, bertemu dengan para pengusaha muda Muslim yang penuh semangat. Pada bagian dada di baju mereka tersemat kata "pengusaha anti riba". Luar biasa!

Alhamdulillah, kita bersepakat untuk menghidupkan kembali Sunnah Rasulullah SAW untuk memagangkan anak usia pre aqilbaligh 11-15 tahun agar mukalaf dan mandiri ketika aqilbaligh, dengan membangun jaringan pemagangan.

Setidaknya, jaringan pemagangan ini untuk kota Malang dahulu, kelak disambungkan dengan jaringan pemagangan di kota lainnya.

Kota Malang sendiri cukup banyak praktisi, professional dan pengusaha yang hebat dan kehebatannya bisa ditularkan kepada generasi mendatang. Mimpi kita melahirkan generasi yang mukalaf dan mandiri ketika berusia aqilbaligh.

Seorang pengusaha muda yang hadir berseloroh, "...agar jangan ada lagi anak anak kita yang membawa mahar seperangkat alat sholat, karena junjungan kita maharnya 100 unta merah (sekelas 100 BMW)..."

Saya berjanji kepada teman teman yang baik ini untuk mengirimkan bisnis model manajemen pemagangan berbasis fitrah, khususnya fitrah bakat dan akhlak.

Kemudian saya menuju bandara udara Juanda di kota Surabaya. Di perjalanan, teman teman yang mengantar, sambil lewat, menunjukkan sebuah sekolah Islam Fullday yang konon paling "bagus" di Kota Malang.

"Semua anak Pak Mendiknas sekolah di sana", seorang teman yang mengantar memberi info. Saya bergumam, pantas saja, pak Mendiknas begitu terobsesi dengan model fullday school, ini rupanya.

Cara pandang beliau tentang fullday school juga persis apa yang dijajakan sekolah berjenis ini, yaitu "agar anak tidak keluyuran karena seharian ada di sekolah".  Ini mindset sekolah sebagai tempat penitipan banget dengan mengabaikan peran mendidik orangtua.

Teman teman melepas saya di Bandara Udara Juanda Surabaya, untuk melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta. Tidak lama, pesawat kecil berpenumpang puluhan orang sampai di Bandara Adi Sucipto.

Setelah mengambil koper, memesan taksi, lalu saya sudah berada di jalan khas Jogja. Jalan penuh kenangan semasa bulan madu dan masa masa sesudahnya.

Sebelah saya seorang sopir tampan, wajah khas Jogja (mirip Kanjeng Sultan) berbadan tegap atletis, usia 30an, ayah dari dua orang putri usia 7 tahun dan 3 tahun. Usut punya usut ternyata dia alumni UGM Fakultas Kedokteran Hewan. Nampaknya dia malu betul mengungkapkan bahwa dia alumni UGM.

"Saya sebenarnya pengennya di IT, mas, namun waktu itu kampusnya swasta. Walau itu kampus IT terbaik di Jogja, namun ayah saya lebih bangga kalau saya bisa kuliah di UGM, apapun jurusannya. Ya inilah saya sekarang, dokter hewan yang tak suka hewan, sukanya nyetir, hahahaha..."

Tawanya lepas namun terdengar kecut. Saya teringat sebuah riset tahun 2015, bahwa 87% mahasiswa Indonesia salah jurusan". Begitulah nasib generasi muda bangsa ini, sejak selesai menyusui sampai sekolah tinggi, tak ada seorangpun yang bertanya "siapa kita" tetapi semua bertanya "ranking berapa kita", "berapa banyak hafalan kita" dstnya.

Tentu saja kita harus mensyukuri apapun "jurusan" yang Allah berikan, namun kita sebaiknya lebih dahulu mensyukuri karunia potensi keunikan (fitrah bakat) yang Allah karuniakan.

Andai mas Sopir tadi, jika memang bakatnya di dunia IT misalnya sebagai system analyst atau analyst programmer dll, sudah fokus dikembangkan sejak usia 10 tahun, dan mulai pemagangan sejak usia 12 tahun sebagaimana Rasulullah SAW mulai magang berdagang bersama pamannya ke Syams (Syiria) sejak usia tsb maka insyaAllah mas Sopir tadi sudah aķan mapan di usianya sekarang dan tidak perlu memubazirkan waktunya untuk obsesi orangtuanya

Dan untuk menjadi professional tidak selalu harus melalui jenjang perkuliahan, bisa juga sertifikasi profesi. Misalna di Thailand, anak anak seusia SMP sudah certified Java Programmer dan itu berlaku worldwide, artinya bisa bekerja dimanapun.

Sebagai tambahan, bahwa para Ayah yang tidak menjalani peran professional sesuai fitrah bakatnya atau panggilan hidupnya, akan membawa masalahnya kemana mana, termasuk akhlak buruk pada anak dan pasangannya bahkan dirinya.

Saya melamun membayangkan betapa berat para Ayah yang harus menjalani peran mendidik anak dan keluarganya sementara mereka belum selesai dan tidak bahagia dengan dirinya.

Mobil terus melaju menuju arah Gunung Merapi, yang menjadi saksi betapa banyak generasi yang menjadi korban obsesi dan sistem yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.

Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar